Sumber: ngeposari-semanu.desa.id

Rasulan, tradisi yang masih dilestarikan oleh masyarakat di daerah Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Tradisi ini adalah tradisi turun temurun yang biasa dilaksanakan masyarakat setelah panen raya dilakukan para petani. Rasulan diadakan sebagai ucapan rasa syukur masyarakat atas rezeki yang diterimanya.

Rasulan diadakan rutin tiap tahunnya oleh masyarakat Gunungkidul. Waktu dilaksanakannya tradisi ini berbeda-beda. Ada yang melakukan Rasulan pada Senin Pahing dan ada pula yang melaksanakan di Rabu Kliwon.

Hal yang menarik dari Rasulan adalah masyarakat setempat akan mengundang saudara, teman, maupun kerabat dari luar padukuhan (wilayah desa). Selain itu, dalam pelaksanaan Rasulan masyarakat akan menyelipkan acara hiburan seperti Jatilan, Campursari, ataupun kiran budaya. Acara hiburan ini memiliki peran penting dalam menarik perhatian masyarakat di luar padukuhan untuk hadir serta menyaksikan kegiatan tersebut.

Tradisi Rasulan sering dijumpai di hampir seluruh desa di Gunungkidul. Proses dalam tradisi ini biasanya memakan waktu yang panjang. Beberapa hari sebelum pelaksanaannya, sudah dilakukan ritual oleh masyarakat.

Rasulan dapat dimaknai sebagai hubungan manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa versi petani Gunungkidul. Makna lainnya yaitu untuk menyambung tali silaturahmi antar masyarakat.

Proses awal Rasulan dimulai dari permintaan pemerintah desa untuk membentuk panitia Rasulan serta menentukan kegiatan apa yang akan dilaksanakan. Dana yang digunakan untuk acara ini bersumber dari masyarakat.

Lalu masyarakat juga melaksanakan ritual yang dikenal dengan kenduren atau kenduri. Ini adalah puncak utama dari Rasulan. Masyarakat akan membawa makanan dari rumah yang berupa nasi, lauk pauk, hingga sayuran. Setelah diadakannya kenduri, makanan dicampur dan dimakan bersama-sama oleh masyarakat.

Rasulan yang diadakan oleh tiap pedukuhan terkadang berbeda-beda. Di pedukuhan Kelurahan Giripanggung misalnya, akan mengawali Rasulan dengan kegiatan kerja bakti membersihkan lingkungan.

Selain itu, masyarakat akan mengadakan perlombaan untuk memeriahkan acara seperti sepak bola, voli, maupun olahraga lainnya. Lalu acara akan dilanjutkan dengan pertunjukkan kesenian yang dimiliki masing-masing padukuhan.

Namun, karena adanya pandemi yang melanda Indonesia sejak tahun 2020, masyarakat Gunungkidul terpaksa tidak melaksanakan Rasulan dengan optimal. Hal ini karena seruan pemerintah untuk tetap menjaga jarak dan tidak membuat kerumunan. Selain itu, sejumlah desa di Gunungkidul juga melarang orang dari luar desanya untuk berkunjung.

Akan tetapi, beberapa masyarakat Gunungkidul tetap melaksanakan Rasulan meskipun tidak semeriah tahun-tahun sebelumnya. Pada tahun ini, acara dalam Rasulan dibatasi serta pelaksanaan tetap menerapkan protokol kesehatan.

Tradisi Rasulan Tetap Diadakan Di Kala Pandemi (sumber: sumberejo-semin.desa.id)

Salah satu yang tidak diadakan adalah acara hiburan. Hal ini dirasa tepat untuk mengurangi adanya kerumunan. Namun, masyarakat tetap melakukan Rasulan dengan sederhana tanpa mengurangi makna dan esensi dari Rasulan itu sendiri.

Banyak sekali pesan moral yang dapat dipetik dari tradisi Rasulan. Seperti harus bersyukur terhadap nikmat yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa.

Sudah seharusnya kita tetap melestarikan tradisi yang kaya akan makna seperti Rasulan. Dengan melestarikan tradisi, kita dapat membantu tradisi lokal tetap bertahan walaupun banyaknya budaya luar yang masuk.

Penulis: Nabila Cahya Pramita, Universitas Diponegoro, Peserta Magang GenPinas 2021

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here