Jika mendengar Suku Baduy, mungkin hal yang terlintas di benakmu adalah madu asli khasnya. Suku Baduy memang terkenal dengan kualitas madunya yang tidak bisa diragukan lagi. Namun, apakah kamu tahu bahwa Suku Baduy berjalan kaki ratusan kilometer untuk menjual madu ke kota-kota besar?
Suku Baduy merupakan salah satu suku yang masih memegang adat leluhurnya dengan baik. Suku ini berlokasi di kaki pegunungan Kendeng, tepatnya Desa Kanekes, Banten. Masyarakat Suku Baduy sendiri sering menyebut dirinya ‘Urang’ Kanekes atau Orang Kanekes.
Tiga Bagian Suku Baduy

Masyarakat Suku Baduy terdiri dari Baduy Dangka, Baduy Luar, dan Baduy Dalam. Masyarakat Baduy Dangka merupakan masyarakat Baduy yang paling terbuka dengan modernisasi.
Masyarakat Baduy Dangka juga sudah tinggal di luar tanah adat. Sementara, masyarakat Baduy Luar masih tinggal di tanah adat serta masih memegang adat leluhurnya. Akan tetapi, sudah ada kelonggaran aturan adat dari masyarakat Baduy Luar.
Yang terakhir dan yang paling menolak kehidupan modernisasi adalah Baduy Dalam atau Baduy Jero. Masyarakat Baduy Dalam ini bertempat tinggal di pelosok tanah adat. Baduy Dalam memegang teguh prinsip hidup selaras dengan alam. Sehingga, apabila ingin bepergian, Baduy Dalam akan berjalan sejauh apapun jaraknya.
Selain dari kebiasaannya, perbedaan lain dari Baduy Luar dan Baduy Dalam terletak pada pakaian khasnya. Pakaian khas Baduy Luar adalah pakaian serba hitam dengan ikat kepala biru, sedangkan Baduy Luar memakai pakaian serba putih.

Salah satu tradisi unik yang membedakan suku ini adalah tradisi berjalan kaki. Tradisi berjalan kaki hingga ratusan meter bukan merupakan hal baru bagi masyarakat Baduy khususnya Baduy Dalam. Suku Baduy biasa berjalan kaki saat ritual tahunan masyarakat adatnya, yaitu Seba.
Tradisi Seba

Seba merupakan tradisi masyarakat Baduy untuk mengungkapkan rasa syukur serta menjalin silahturahmi dengan bupati maupun gubernur. Mereka rela berjalan kaki dari pedalaman Desa Kanekes ke Kota Serang, Banten. Dalam Tradisi Seba, masyarakat Baduy biasanya membawa hasil panen untuk diserahkan pada gubernur sebagai ucapan terimakasih.
Seba dilakukan setiap tahun sebagai bentuk rasa syukur atas kehidupan baik yang telah diberikan. Tradisi ini merupakan salah satu pikukuh karuhun (amanat leluhur) dari masyarakat Baduy. Apabila tidak dilakukan, masyarakat Baduy percaya akan ada musibah yang datang, seperti longsor, kekeringan, atau banjir.
Penyerahan hasil bumi kepada bupati atau gubernur dilakukan sebagai tanda keikhlasan dari Suku Baduy pada pemerintah. Selain bersilaturahmi, masyarakat juga Baduy menitip pesan untuk pemerintah agar tetap menjaga kelestarian alam. Masyarakat Baduy Dalam masih membawa hasil bumi tersebut secara lalampah.
Lalampah berarti berjalan tanpa menggunakan alas kaki dari pulang hingga pergi. Diperkirakan jarak tempuhnya adalah sepanjang 160 kilometer. Lalampah merupakan bentuk masyarakat Baduy dalam menjaga kelestarian alam.
Makna lalampah terletak pada saat telapak kaki secara langsung bersentuhan dengan alam (tanah). Lalampah diyakini dapat menjalin ikatan batin antara manusia dengan alam. Masyarakat Baduy juga mengungkapkan apabila masih kuat untuk berjalan, mereka tidak ingin naik kendaraan.
Akan tetapi, Suku Baduy Luar sudah memiliki aturan yang longgar terkait aturan adat berjalan kaki dalam Tradisi Seba. Sehingga, Baduy Luar sudah diperbolehkan menggunakan kendaraan bermotor saat ingin pergi ke kota untuk Tradisi Seba. Namun, Baduy Luar tetap tidak mengenakan alas kaki saat bepergian.
Tradisi Seba juga memberi kesempatan bagi masyarakat Suku Baduy untuk melihat kondisi hiruk pikuk kota. Terkadang, setelah melaksanakan Seba, masyarakat Baduy juga berjalan-jalan mengelilingi mal untuk sekedar menikmati kemajuan kota, atau berbelanja.
Pandemi Tidak Menghalangi Tradisi Seba

Walaupun di tengah kondisi pandemi, suku Baduy tetap melaksanakan Tradisi Seba. Namun, pemerintah tetap melakukan pembatasan massa agar mengurangi kerumunan. Alasan suku Baduy tetap melakukan Seba adalah khawatir akan adanya malapetaka yang datang.
Meskipun ada pembatasan massa dalam pelaksanaannya, Seba tetap melaksanakan protokol kesehatan serta sesuai tradisi. Untuk menempuh perjalanan, masyarakat Baduy Luar sudah menggunakan kendaraan bermotor, sedangkan Baduy Dalam tetap berjalan kaki.
Wah, menarik sekali ya Tradisi Seba dari masyarakat Baduy yang masih mempertahankan aturan adat berjalan kaki. Bahkan, pandemi pun bukan penghalang mereka untuk melakukan Seba dan berjalan kaki ratusan kilometer.
Semoga pandemi cepat berakhir, sehingga tradisi Seba dapat dilakukan tanpa adanya pembatasan sosial.
Penulis: Nabila Cahya Pramita. Universitas Diponegoro. Peserta Magang GenPinas 2021