Perang Pandan di Desa Tenganan karangasem bali
Pemuda desa Tenganan sedang melakukan ritual Perang Pandan (foto : instagram.com/bali.nature)

Pesona Bali memang tidak pernah ada habisnya. Selain keindahan alamnya, Pulau Bali juga dikenal dengan budaya dan tradisinya yang unik. Salah satu budaya yang masih dilestarikan hingga saat ini adalah perang pandan atau biasa disebut mekare-kare.

Perang pandan merupakan ritual sasihh sembah untuk menghormati dewa Indra sebagai dewa perang. Tradisi ini diselenggarakan di Desa Tenganan, Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem, Bali.

Perang ini dilaksanakan setiap bulan kelima atau sasih kalima dalam penanggalan desa adat Tenganan.

Baca juga:
* Pesona Bawah Laut Pantai Tulamben di Karangasem Bali

Peserta perang pandan berasal dari kalangan pemuda dalam dan luar desa Tenganan. Pemuda dari dalam desa akan berperan sebagai peserta sedangkan pemuda dari luar desa akan berperan sebagai peserta pendukung.

Anak-anak yang mulai beranjak dewasa juga ikut serta dalam upacara ini sehingga upacara ini menjadi simbol seorang anak telah beranjak dewasa.

Sejarah Perang Pandan

Di Bali, terdapat tiga desa yang merupakan penduduk asli bali atau dikenal dengan nama Bali Aga. Tiga desa tersebut adalah Desa Trunyan, Desa Sambiran, dan Desa Tenganan. Masyarakat Bali Aga adalah pemuja Dewa Indra sebagai Dewa utama.

Jaman dulu desa Tenganan di pimpin oleh raja yang kejam bernama Maya Denawa. Raja Maya Denawa menyebut dirinya sebagai dewa karena memiliki kesaktian yang luar biasa. Dan dia melarang rakyatnya untuk menyembah Dewa Indra.

Karena masyarakat merasa bahwa Raja Maya Denawa sudah diluar batas. Maka masyarakat memohon kepada Dewa Indra untuk membebaskan mereka dari kekejaman Raja Maya Denawa. Kemudian Dewa Indra diutus untuk melawan Maya Denata.

Pada akhirnya Raja Maya Denawa berhasil dikalahkan oleh Dewa Indra. Sejak saat itulah tradisi perang pandan diselenggarakan untuk mengenang kebebasan Desa Tenganan dari kekejaman Raja Maya Denawa. Dan juga untuk menghormati Dewa Indra sebagai dewa perang.

Pakaian dan Alat Perang Pandan

Pengiring Musik Gamelan Selonding (foto: yopiefranz.com)

Pakaian adat yang digunakan dalam tradisi perangpandan ini adalah kain tenun Pegringsingan. Peserta pria yang mengikuti tidak mengenakan baju atau bertelanjang dada.

Namun hanya menggunakan kamen atau sarung, saput atau selendang, dan udeng yaitu ikat kepala. 

Sedangkan untuk senjata yang digunakan dalam tradisi perang pandan adalah pandan yang berduri. Pandan berduri ini akan diikat sehingga membentuk seperti gada.

Peserta pria juga akan menggunakan tameng yang terbuat dari rotan sebagai pelindung diri dari serangan lawan.

Selama perang pandan berlangsung musik gamelan selonding akan mengiringi hingga akhir acara. Gamelan selonding hanya boleh dimainkan oleh orang yang telah disucikan. Namun ada pantangan, ketika memainkan alat musik ini tidak boleh menyentuh tanah.

Pelaksanaan Acara Perang Pandan

Ritual Mengelilingi Desa (foto : anomharya.com)

Untuk mengawali upacara perangpandan, dilakukan dengan mengelilingi desa sebagai wujud permintaan keselamatan kepada sang Dewa. Kemudian dilanjutkan dengan ritual minum tuak bersama. Setelah minum tuak, kemudian tuak di kumpulkan jadi satu dan dibuang di samping panggung.

Sebelum memulai perang pandan pemangku adat akan memberikan aba-aba sehingga para peserta akan bersiap siap.

Perang ini dilakukan secara berpasangan dua orang. Mereka akan berhadap-hadapan dengan membawa perisai di tangan kiri dan seikat daun pandan yang ada di tangan kanannya.

Penengah perang akan mengangkat tangan tinggi-tinggi dan peserta itu saling menyerang. sebelum memukul punggung lawan mereka akan merangkulnya terlebih dulu. Kemudian peserta akan menari dan sesekali memukul punggung lawan dengan pandan yang berduri

Peserta akan memukul dengan daun pandan berduri lalu menggeretnya hingga jatuh. oleh karena itu ritual ini juga disebut sebagai megeret pandan. Peserta yang lain akan memberi semangat dengan bersorak kemudian jika peserta sudah tidak sanggup maka penengah dan pemedek akan memisahkan.

Meskipun tubuhnya berdarah, para peserta tetap terlihat senang. karena hal tersebut  sebagai salah satu ungkapan syukur mereka dan cara menghormati Dewa Indra. Tidak ada dendam diantara peserta hal tersebut ditunjukan dengan megibung yaitu makan bersama yang menunjukkan simbol kebersamaan.

Baca juga:
* Rekreasi Sambil Belajar Sejarah di Taman Narmada Lombok Barat

Tradisi perang pandan ini diselenggarakan hanya sekali dalam satu tahun. Sehingga, jika kalian tertarik untuk menyaksikannya cari tau terlebih dahulu ya tanggal pelaksanaannya.

(Penulis : Defania Hasyyati Rosyidah, Universitas Negeri Surabaya, Peserta Magang GenPinas 2021)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here