Nasi tumpeng tentunya tidak asing lagi di telinga masyarakat Indonesia. Hidangan ini kerap hadir di setiap acara-acara seremoni. Dari peresmian gedung, pembukaan suatu acara penting, hingga dalam kehidupan pribadi masyarakat Indonesia.
Tumpeng sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia. Hidangan ini merupakan hasil budaya dari kerajaan Kota Yogyakarta dan Surakarta. Awalnya, nasi tumpeng adalah hidangan khusus untuk upacara dan ritual.
Baca juga:
* Teh Oplosan, Tradisi ‘Ngeteh’ Kental dan Wangi di Solo
Dewasa ini, nasi tumpeng sudah bervariasi menunya. Tidak ada ‘pakem’ yang menjadi patokan nasi tumpeng yang benar dan yang salah.
Hal tersebut karena masyarakat Indonesia sudah terkena sentuhan budaya dari negara-negara lain. Sehingga, nasi tumpeng kini tidak hanya memiliki lauk dari makanan lokal saja. Namun, masyarakat berinovasi memberikan sentuhan makanan negara lain ke dalam tumpeng dengan cara mengganti lauknya.
Fenomena seperti ini tentu memicu perdebatan di tengah masyarakat yang mengerti filosofi tumpeng dan para budayawan. Maka dari itu, sebelum membahas tentang filosofi tumpeng, mari pahami dahulu tumpeng yang sesungguhnya.
Tumpeng adalah kependekan dari “tumapaking penguripan-tumindak lempeng-tumuju Pangeran”. Artinya berkiblatlah kepada pemikiran bahwa manusia itu harus menuju jalan Tuhan YME.
Masyarakat Jawa memiliki kepercayaan bahwa ada kekuatan agung di luar dirinya yang dapat mempengaruhi kehidupannya. Kepercayaan ini yang melandasi alasan mengapa masyarakat Jawa sangat memelihara hubungannya dengan Tuhan YME.
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, nasi tumpeng adalah hidangan khusus untuk upacara dan ritual. Upacara dan ritual tersebut tidak sebatas di lingkungan keraton Yogyakarta dan Surakarta saja. Namun juga masyarakat sekitar.
Penggunaan tumpeng dalam sesaji untuk selamatan di lingkungan kerabat dan keraton umumnya untuk mengenang para leluhur, menghormati tokoh agama Islam, sesaji relasi raja, sajian untuk pusaka, syukuran kenaikan tahta, sedekah raja, dan berbagai upacara dan ritual lainnya.
Namun, di tengah masyarakat, tumpeng berguna untuk berbagai lingkar kehidupan. Sejak upacara kehamilan, kelahiran, masa anak-anak, dewasa, hingga meninggal. Selain itu juga berguna untuk berbagai kegiatan masyarakat. Seperti acara bersih desa, upacara panen, dan upacara lainnya.
Bahkan, pada masa lalu, tumpeng berguna untuk segala keperluan keluarga. Seperti mendirikan rumah, syukuran ganti nama, syukuran ulang tahun, hingga selamatan untuk menghilangkan kenangan buruk dalam mimpi. Semua hal tersebut adalah ungkapan rasa bersyukur orang Jawa terhadap Tuhan YME.
Nasi tumpeng berbentuk kerucut adalah lambing gunung, tempat sakral oleh masyarakat Jawa karena gunung kaitannya erat dengan langit dan surga.
Selain itu, makna lainnya adalah dengan menjulangnya nasi, maka pencapaian akan semakin tinggi dan kualitas hidup meningkat.
Nasi tumpeng yang berwarna kuning keemasan melambangkan keagungan. Sementara, lauk pauk yang ada di sekitarnya berarti tanah yang subur. Sehingga harapannya dapat menjadi ladang kesejahteraan hidup manusia.
Maka dari itu, pada zaman dahulu, lauk pauk pada hidangan tumpeng akan berbeda satu sama lain. Hal yang terpenting adalah segala makanan disekitar nasi harus berjumlah minimal tujuh macam lauk pauk.
Angka tujuh dalam Bahasa Jawa ialah pitu. Pitu adalah singkatan dari pitulungan atau yang berarti pertolongan. Tergantung pada tujuan dari ritual dan upacara yang akan diselenggarakan. Semua hal tersebut, dari nasi hingga lauk pauk, diletakkan di atas tampah yang telah dialasi daun pisang.
Tumpeng pada zaman sekarang sebagian besar tidak mematuhi aturan tersebut. Tidak dapat dipungkiri bahwa tumpeng masih menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan masyarakat Indonesia.
Baca juga:
* Rendang, Masakan Terenak di Dunia Khas Minangkabau
Kini tugas kita sebagai bagian dari masyarakat Indonesia adalah tetap lestarikan budaya tumpeng. Sebab, tumpeng adalah salah satu sajian yang penuh makna kehidupan yang dapat kita ajarkan ke generasi yang akan mendatang.
(Sumber: Gardjito, Murdijati, & Erwin, Lily T. (2010). Serba-Serbi Tumpeng: Tumpeng Dalam Kehidupan Masyarakat Jawa. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama)
(Penulis: Sintya Nur Muftiana, Universitas Indonesia, Program Magang Genpinas)