Sumber Foto : (kratonjogja.id)

Abdi Dalem Keraton Yogyakarta menggelar doa bersama untuk menyambut tahun baru Jawa, 1 Suro Jimakir 1954. Berbeda dengan kebiasaan sebelumnya, situasi pandemi ini membuat keraton Yogyakarta tidak menggelar ritual khusus Lempah Budaya Mubeng Beteng atau tapa bisu yang biasanya mengelilingi benteng Keraton Yogyakarta.

Sebagai informasi, tradisi Mubeng Beteng atau tradisi tapa bisu itu memiliki makna berpuasa dalam berbicara. Orang yang mengikuti tradisi ini tidak diperbolehkan untuk saling bicara. Alasannya, karena momen ini digunakan masyarakat untuk mengintropeksi serta merefleksikan diri menjadi lebih baik.

Nah, seperti yang dilansir kratonjogja.id, ritual Lempah Budaya Mubeng Beteng ini sudah diikuti oleh abdi dalem, prajurit keraton, dan masyarakat umum pada malam 1 suro yang diadakan setiap tahunnya. Wah, menarik ya. Menelusuri keberagaman tradisi yang ada di Indonesia, tentunya hal ini harus diketahui buat kamu-kamu, khususnya pemuda yang cinta dengan budaya Indonesia.

Menelisik dari sejarahnya, sebenarnya tradisi asli Jawa ini sudah berkembang pada abad ke-6, tepatnya sebelum Mataram-Hindu. Tradisi ini juga tidak hanya berada di seputaran benteng Keraton Yogyakarta, tetapi juga ada di Mubeng Kuthagara dan mancanegara loh!

Mengenal tradisi ini sesuai simbolnya, masyarakat Jogja, khususnya penganut kepercayaan Kejawen mengartikan tradisi ini dengan keprihatinan untuk kesiapan masyarakat menghadapi tahun yang akan datang.

Lebih lanjut, kita berjalan ke arah prosesi tradisi ini. Prosesi tradisi ini dimulai pukul 9 malam yang diawali dengan menyanyikan tetembangan (lagu) Jawa yang dilaksanakan oleh beberapa Abdi Dalem. Kemudian, dilanjutkan dengan adanya doa bersama. Biasanya, terdapat pembagian makanan kepada masyarakat sekitar sebagai bentuk dari sedekah Keraton untuk masyarakat.

Sayangnya, kegiatan doa bersama pada tahun ini hanya mengundang peserta dalam jumlah yang terbatas. Mereka terdiri dari 13 perwakilan Abdi Dalem Punokawan, 12 perwakilan Abdi Dalem Keprajan, 25 Penghageng II Keraton Yogyakarta, 25 anggota Pamulangan Macapat, dan 25 perwakilan dari instansi pemerintah.

Tentu saja protokol kesehatan yang ketat juga diberlakukan oleh pengurus Keraton Abdi Dalem. Semua peserta diharuskan mengenakan masker dan mencuci tangan terlebih dahulu dan hadirnya petugas dari Puskesmas Kraton yang lengkap dengan APD untuk memeriksa suhu tubuh tiap peserta.

Acara pada tahun ini diakhiri dengan pembacaan doa bersama yang sekaligus menutup acara peringatan Tahun Jawa tersebut.

Waah, sayang sekali ya. Dengan adanya pandemi ini, beberapa hal tidak bisa diadakan. Antusiasme masyarakat terhadap tradisi ini juga tertahan. Namun, sebagai warga Indonesia yang peduli terhadap keanekaragaman budaya dan tradisi Indonesia, kita harus ikut melestarikan tradisi ini. Minimal dengan mengenal tradisi melalui membaca.

Selamat menambah wawasan, semoga hari-hari sobat Genpi menyenangkan ya!

Sumber : kratonjogja.id

Ditulis oleh Jorgy Yusuf Alviano, Sastra Indonesia, Universitas Diponegoro. Program Internship Genpinas 2020

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here