Daftar Isi
Sumatera Barat tidak hanya terkenal dengan rumah gadang dan kuliner khasnya yang menggugah selera. Sumatera Barat juga dikenal dengan kekayaan budayanya. Salah satu budaya yang masih sangat dilestarikan hingga saat ini adalah tari piring.
Tari piring dalam bahasa Minangkabau disebut tari piriang merupakan tari tradisional yang menampilkan atraksi menggunakan piring. Piring yang dibawa penari akan diayun dengan gerakan cepat dan teratur, tanpa ada satupun piring terlepas dari genggaman tangan.
Tari piring berasal dari Tanah Minangkabau tepatnya di kota Solok, Sumatera Barat. Tari piring sering dipertunjukkan dalam pembukaan upacara adat atau penyambutan tamu terhormat. Tari ini populer di Indonesia bahkan hingga ke internasional karena sering ditampilkan dalam ajang promosi pariwisata dan kebudayaan Indonesia
Sejarah Tari Piring
Sejarah tari piring bermula dari ungkapan rasa syukur masyarakat Minangkabau kepada dewa karena hasil panen yang melimpah. Ritual ini dilakukan dengan meletakkan sesaji di piring untuk dipersembahkan. Ketika menyerahkan sesaji, para pembawa sesaji melangkah dengan gerakan dinamis sambil membawa piring berisi sesaji dan diiringi musik.
Setelah masuknya islam tari piring tidak lagi dijadikan sebagai ritual untuk mengucap syukur kepada Dewa. Namun, tarian ini dialihfungsikan menjadi hiburan bagi masyarakat dan dipersembahkan dalam upacara adat.
Keunikan Tari Piring
Keunikan tari piring yang utama adalah piring yang dijadikan sebagai media utama. Piring yang digunakan berjumlah dua buah dan terbuat dari porselen atau keramik yang berwarna putih.
Tari piring juga memiliki gerakan yang unik. Gerakan tari dilakukan secara memutar dan diayun-ayun dengan mengikuti irama music pengiring. Irama musik ini berasal dari berbagai macam alat musik seperti gong, talempong, rebana, saluang, dan lainnya.
Keunikan lainnya pada tari piring adalah terdapat suara dentingan cincin. Penari akan memakai 2 cincin pada jarinya lalu dipukulkan pada piring di telapaknya. Suara dentingan ini akan menyatu dengan musik sehingga terdengar lebih menarik
Keunikan terakhir adalah penari juga akan melakukan tarian di atas pecahan piring. Gerakan ini dilakukan di akhir pertunjukan, para penari akan melempar piring yang digunakan ke lantai. Selanjutnya para penari akan menari di atas pecahan piring yang telah dilempar tadi.
Busana Penari Pria
Busana yang dikenakan oleh penari pria memiliki nama rang mudo. Busana ini memiliki lengan yang panjang dengan missia atau hiasan renda emas. Celana yang digunakan disebut besaran gelombang ukurannya besar di bagian tengah dan memiliki warna selaras dengan baju.
Penari pria juga akan menggunakan sisampiang berbahan songket untuk menutupi bagian pinggang hingga ke lutut. Untuk mengencangkan pinggang penari pria biasa menggunakan cawek pinggang serupa dengan ikat pinggang. Di bagian kepala penari menggunakan dekstar untuk menutup kepala yang terbuat dari kain songket dan berbentuk segitiga.
Busana Penari Wanita
Busana yang dikenakan oleh penari wanita adalah baju kurung. Baju kurung terbuat dari kain satin atau beludru dan memiliki lengan panjang. Untuk melengkapi pakaian penari harus menggunakan selendang di bagian kiri yang berbahan dasar kain songket.
Penutup kepala penari wanita adalah tikuluak tanduak balapa berbahan dasar songket dan berbentuk tanduk atau atap rumah gadang. Untuk aksesoris yang dikenakan penari perempuan ada kalung gadang, kalung rumbai, subang, dan cawek pinggang.
Ragam Gerak Tarian
Penari menggenggam dua buah piring kemudian piring tersebut diayun-ayunkan sesuai dengan irama musik. Beberapa gerakan lain seperti gerakan sasambahan, singanjuo lalai, mencangkul, menyiang, membuang sampah, menyemai, memagar, mencabut benih, Bertanam, melepas lelah.
Selain itu juga terdapat gerakan mengambil padi, menggampo padi, mengantar juadah, menyambut padi, menganginkan padi, membawa padi, mengikir padi, menumbuk padi, gotong royong, menampi padi, dan menginjak pecahan kaca.
Video tari piring
Unik kan Tari Piring dari Minangkabau ini? Untuk itu, mari kita tetap menjaga dan melestarikan budaya ini agar tidak lenyap oleh kemajuan zaman.
Penulis : Defania Hasyyati Rosyidah, Universitas Negeri Surabaya, Peserta Magang GenPinas 2021