
Geliat pembangunan sektor pariwisata saat ini tumbuh subur meskipun sempat terpukul dengan adanya pandemic Covid-19. Melalui berbagai regulasi, pemerintah terus berupaya mendorong pembangunan pada sektor ini agar mampu bangkit dan berkembang sehingga mampu memberikan sumbangsih bagi pertumbuhan ekonomi nasional. Sedangkan, di sisi lain masyarakat juga mencoba mengambil peran di gesrut dengan ikut berpartisipasi melalui gerakan gotong royong yang dibangun secara komunal untuk mengoptimalkan potensi-potensi lokal yang ada.
Sejak pandemic Covid-19 muncul awal tahun 2020 di Indonesia, sektor pariwisata menjadi salah satu sektor yang paling terdampak dengan adanya wabah virus ini. Pasalnya, sebagian besar destinasi wisata lumpuh dan tidak dapat beroprasi normal, bahkan ada yang harus berujung pada Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) lantaran sudah tidak mampu mambayar gaji karyawannya. Tercatat ada sebanyak 1,58 juta pekerja yang terdampak pandemic Covid-19.
Sejauh ini, pemerintah telah berupaya dengan mengeluarkan berbagai kebijakan, seperti Kartu Prakerja, bantuan stimulus sebesar 3,3 Triliun dan vaksinasi bagi para pelaku sektor pariwisata. Disamping itu juga, pemerintah melalui kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (parekraf) juga mendorong para pengelola wisata memiliki sertifikat CHSE (Cleanliness, Health, Safety and Environment Sustainability) agar destinasi wisata yang dikelolanya tetap dapat dikunjungi dengan syarat menerapkan protokol kesehatan yang baik. Meskipun tidak bisa ditampikan, sejauh ini upaya yang dilakukan tersebut belum mampu mengembalikan sektor ini pada posisi sebelum adanya pandemic. Sehingga, masih perlu adanya perencanaan dan trobosan inovatif untuk mendongkak kembali sektor pariwisata supaya dapat tumbuh secara berkelanjutan. Disamping program pembangunan 5 Destinasi Pariwisata Super Prioritas (DPSP) dan pengembangan 5 Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Pariwisata yang telah dicanangkan oleh pemerintah pusat.
Namun, terdapat beberapa destinasi wisata yang mampu mentas dari efek gelombang pandemic. Beberapa wisata di provinsi Lampung, seperti Pasar Yosomulyo Pelangi (Payungi), Sunmory Taman Asri dan Pasar Kreatif Tejoagung (Pak Tejo) yang lahir dari embrio gerakan gotong royong masyarakat dapat eksis kembali. Bahkan, destinasi di Lampung terus tumbuh. Hal ini terlihat dengan adanya wisata-wisata baru seperti Pasar Kuliner Karangendah (Pakare) di Kabupaten Lampung Tengah dan Pasar Jamur Sawah di Kota Metro.
Gerakan Pariwisata Berbasis Gotong Royong
Pembangunan sektor pariwisata secara tidak langsung dapat mendorong penumbuhan sektor-sektor lainnya. Hal ini dikarenakan pembangunan pada sektor pariwisata akan membentuk pola integrasi dengan sektor lainnya seperti pembangunan infrastrutur, ekonomi, keamanan, transportasi, lingkungan, sosial dan budaya. Bahkan, adanya pembangunan pada sektor ini dapat memberikan perubahan signifikan bagi kemajuan pembangunan daerah. Namun, pembangunan sektor pariwisata juga dapat memberikan dampak negatif bagi masyarakat setempat dan lingkungan sekitar jika dikelola dengan manajemen yang tidak benar. Sehingga, diperlukan strategi perencanaan yang matang agar dampak negatif yang ditimbulkan dari pembangunan sektor pariwisata dapat diminimalisir dan dampak positifnya bisa diperkaya.
Menurut Bambang Sunaryo dalam bukunya “Kebijakan Pembangunan Destinasi Pariwisata: Konsep dan Aplikasinya di Indonesia,” untuk melakukan upaya pembangunan sektor pariwisata setidaknya ada tiga strategi perencanaan yang dapat dipilih, yaitu Growth Oriented Model, Community Based Tourism Development dan Sustainable Tourism Development. Dari tiga model strategi perencanaan tersebut, Community Based Tourism Development (pembangunan pariwisata yang bertumpu pada pemberdayaan masyarakat) merupakan model yang tepat untuk digunakan dalam membangun pariwisata secara bottom-up dengan mengoptimalkan potensi-potensi lokal yang ada.
Community Based Tourism Development (CBT) menjadi salah satu strategi pembangunan pariwisata yang bertumpu pada kekuatan gerakan gotong royong masyarakat. Peran masyarakat sangat vital dalam strategi ini, pasalnya mereka akan menjadi motor penggerak utama selama melakukan pembangunan destinasi wisata. Setidaknya, ada tiga pilar pokok dalam strategi perencanaan CBT yang harus dikuatkan agar gerakan yang dibangun dapat kokoh, yaitu partisipasi dari masyarakat, kesukarelaan dan pendidikan kepariwisataan bagi masyarakat. Ketiga pilar ini saling berkaitan satu sama lain menjadi penyangga pembangunan destinasi wisata yang notabene difokuskan pada pemanfaatan potensi lokal – modal sosial, kebudayaan, aktivitas masyarakan, alam dan lainnya.
Selain tiga pilar peyangga CBT, terdapat beberapa komponen penting dalam melakukan pembangunan dan pengembangan destinasi wisata. Komponen tersebut meliputi atraksi dan daya tarik wisata, amenitas atau akomodasi, aksesibilitas dan transportasi, infrastruktur pendukung, fasilitas pendukung wisata, serta kelembagaan dan Sumber Daya Manusia (SDM). Komponen-komponen tersebut dapat diciptakan melalui kolaborasi dengan berbagai stakeholders, baik pemerintah, komunitas, kampus, swasta maupun media. Artinya, pembangunan sektor pariwisata perlu mengoneksikan berbagai stakeholders tersebut agar gerakan yang dibuat dapat berjalan secara sustainable.
Pembangunan sektor pariwisata seperti yang dilakukan oleh penggerak Payungi, Sanmory Taman Asri dan Pak Tejo merupakan bentuk pengimplemantasian gerakan pariwisata dengan basis gotong rotong. Masyarakat dari berbagai macam background membaur dan membangun kerja kolektif menciptakan destinasi wisata kreatif yang dapat dinikmati oleh masyarakat luas. Secara konsisten, mereka terus menuangkan kreativitasnya untuk membangun gerakan pariwisata hingga mampu memberikan solusi dan sumbangsih bagi perekonomian masyarakat lokal yang harus melewati masa paceklik akibat pandemic Covid-19.
Mustika Edi Santosa (Sekretaris GenPI Lampung)