Oleh: Dharma Setyawan

Band Seudara tampil di Pasar Yosomulyo Payungi Metro Lampung - Dharma Setyawan
Band Seudara tampil di Pasar Yosomulyo Payungi Metro Lampung. (Foto: Dharma Setyawan)

Gelaran Payungi Membaur ada hal-hal yang terlewat. Ada band bernama Seudara, ketika saya cek di IG mereka menyanyikan lagu-lagu Efek Rumah Kaca dan Bara Suara. Senang sekaligus juga penuh harapan. Ada band yang bernyanyi lagu-lagu berkelas dan menolak melo. Mas Davit pernah mengatakan, tantangan band-band indie di kota ini adalah berani menyanyikan lagu sendiri. Apalagi saat mereka menjadi pembuka konser band-band nasional. Sudah saatnya mereka berani menampilan karya sendiri.

Mengapa begitu? Saat band tersebut menyanyikan lagu-lagu orang lain. Penonton tidak mengingat band tersebut lagi, kecuali asyik ikut bernyanyi lagu-lagu yang sudah terkenal dan semakin melambungkan nama band yang membuat lagu tersebut. Keberanian tampil dengan lagu sendiri, kemudian aktif memproduksi video lewat youtube, upload di IG, Fanpage dan juga pemberitaan website media online adalah cara yang paling memungkinkan.

Crossbone Grunge juga menjadi contoh menarik di kota Metro. Band ini menjual merchendise, dan kaset cd mereka ke para penggemar. Saat mereka tampil di Payungi mereka juga memiliki market place untuk ditampilkan. Sebagai orang yang pernah gagal dalam menjaga keberlanjutan band, saya mulai sadar bahwa seni itu seharusnya jalan hidup. Dulu ekspektasinya bisa bermacam-macam. Jadi artis, terkenal dan jadi orang kaya karena musik. Se-simple itu saya mengenal band sejak SMA dan bermain gitar sejak kelas 1 SMP.

Semakin ke sini saya semakin sadar bahwa banyak juga orang berkesenian karena full hobby dan ada lagi idealisme. Soal idealisme itu juga dipengaruhi banyak motif, mungkin karena tidak mungkin bisa jadi artis top, pengaruh bacaan dan pergaulan dengan para aktivis. Jika anda-anda mendengar Endank Soekamti, band punk cinta ini sejak awal menolak ke Jakarta. Mereka memproduksi album musik sendiri. Hasilnya hari ini ada 2,4 juta Kamtis termasuk saya sejak 2004. ?

Kamtis digawangi Erik punya channel youtube yang lumayan, punya merchandise yang laris, bahkan sudah mendirikan Does University untuk melatih para animator-animator baru. Ok itu Band yang sudah besar, lalu apa contoh lain lagi. Banyak musisi yang hidup dengan idealisme dan tak peduli dengan penjualan kaset. Mereka memproduksi lagu-lagu kritik sosial dan memiliki penggemar yang cerdas-cerdas.

Band yang menjaga idealisme kuat tentu Navicula Bali. Mereka akan melakukan denda kepada EO yang mengundang mereka tapi masih menggunakan plastik. Band Navicula menolak hadirnya plastik di konsernya. Roby Navicula bahkan bawa truk ke Jakarta untuk membawa plastik limbah. Sebagai Band Rock Bali, mereka menawarkan banyak gagasan untuk perubahan. Membuat film pulau plastik, mengajak diet kantong plastik, sedotan stainless, bahkan mereka mendorong hadirnya energi terbarukan. Terakhir mereka manggung di dekat pantai dengan energi listrik panel surya bahkan duet lagu mafia hukum dengan mas Dandhy Dwi Laksono. Apalagi yang lainnya?

Tahukah anda mas Danto Sisir Tanah, Jason Ranti, Ikhsan Skuter? Musisi ini tak lagi bicara band. Sendiri mereka bergerilya membangun karya dan bertahan dengan memperjuangan mereka yang perlu untuk diperjuangkan lewat suara. Sisir Tanah dan Ikhsan Skuter tak terhitung lagi tampil mendukung warga yang sedang berkonflik terkait agraria, kebijakan politik yang menindas.

Seudara, Gingsoul, Crossbone dan band-band lain di kota ini tidak harus seperti mereka. Tapi band yang berbeda dan punya kebaruan karya tentu akan memiliki pasar musiknya sendiri. Jalannya tentu tidak mudah. Musik, ekonomi dan idealisme harus berjalan seirama. Tanpa ecosystem yang baik, pelan dan pasti mereka akan bubar, atau dimakan usia. Tapi musisi yang punya pandangan berbeda, mereka akan jadi kreatif dan bergerak dengan karya yang konsisten.

* Dharma Setyawan adalah Penggerak Pasar Yosomulyo Pelangi (Payungi), Metro, Lampung.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here