Daftar Isi
“Saban taone madura latan te rame
Banya kelaban badana kerraban sape
Banya rang manca pada datang dari jau
Bade nenggu a kerraban sape madura
E eeee sape menggir duli menggir
E eeee sape menggir duli menggir”
Hayo, siapa yang pernah dengar lagu ini? Lagu ini berjudul “Keraban Sape” yang merupakan lagu daerah Madura – Jawa Timur.
Lagu ini menceritakan tentang adat yang biasa dilakukan masyarakat Madura yaitu karapan sape, arti dari sape adalah sapi.
Untuk kata karapan/kerapan, terdapat 2 versi, Versi pertama dikatakan bahwa kata karapan berasal dari kata kerap atau kirap yang artinya berangkat dan dilepas secara bersama-sama atau berbondong-bondong. Sedangkan versi kedua mengatakan bahwa kata karapan/kerapan berasal dari bahasa Arab “kirabah” yang berarti persahabatan.
Sesuai dengan nama nya, Karapan sapi merupakan perlombaan pacuan sapi yang berasal dari Pulau Madura, Jawa Timur.

Pada perlombaan ini, masyarakat bisa menonton sepasang sapi yang menarik semacam kereta dari kayu (tempat joki berdiri dan mengendalikan pasangan sapi tersebut) dipacu dalam lomba adu cepat melawan pasangan-pasangan sapi lain.
Trek pacuan biasanya sekitar 100 meter dan lomba berlangsung sekitar sepuluh detik hingga satu menit.
Sejarah
Karapan sapi rupanya tercipta karena kondisi tanah pertanian di Madura yang kurang subur.
Maka dari itu banyak orang-orang Madura berganti mata pencaharian sebagai nelayan di daerah pesisir. Sekaligus beternak sapi untuk digunakan bertani khususnya dalam membajak sawah atau ladang yang masih bisa di garap.
Lalu pada suatu waktu, muncul seorang ulama dari Sumenep yang dikenal dengan nama Syeh Ahmad Baidawi. Syeh Ahmad Baidawi merupakan Pangeran Katandur atau Raja ke 9 Sumenep, yang menciptakan metode cara bercocok tanam dengan menggunakan sepasang bambu.
Lalu alat bambu ini dikenal masyarakat Madura dengan sebutan “nanggala” atau “salaga” yang dalam prakteknya ditarik dengan dua ekor sapi.
Pada awalnya tujuan diadakannya Karapan Sapi adalah untuk memperoleh sapi yang mempunyai fisik kuat untuk membajak ladang atau sawah.
Berawal dari ide inilah kemudian muncul adanya tradisi karapan sapi, sekaligus juga menjadi kegiatan rutin setiap tahunnya khususnya setelah menjelang habis musim panen.
Video Youtube : Karapan Sapi di Pulau Madura
Permainan
Sebelum perlombaan dimulai, semua sapi yang mengikuti perlombaan akan diarak untuk memasuki lapangan. Sapi dibawa untuk mengelilingi arena pacuan dengan iringan gamelan Madura (Saronen).
Arak-Arakan ini bertujuan untuk melemaskan otot-otot sapi sebelum perlombaan, juga memamerkan penampilan sapi yang sudah di dandani. Setelah arak-arakan selesai. Pakaian dan hiasan itu pun dilepas untuk mempermudah sapi dalam melakukan perlombaan.
Selanjutnya untuk penentuan klasemen, peserta mengatur strategi untuk dapat memasukkan sapi-sapi pacuannya ke dalam kelompok “papan atas” agar pada babak selanjutnya (penyisihan) dapat berlomba dengan sapi pacuan dari kelompok “papan bawah”.
Pada babak penyisihan pertama, kedua, ketiga dan keempat, permainan menggunakan sistem gugur. Sapi-sapi pacuan yang sudah dinyatakan kalah, tidak berhak lagi mengikuti pertandingan babak selanjutnya. Sedangkan, sapi yang dinyatakan sebagai pemenang, akan berhadapan lagi dengan pemenang dari pertandingan lainnya.
Begitu seterusnya hingga tinggal satu permainan terakhir yang selalu menang menjadi juaranya.
Piala Bergilir Presiden hanya diberikan pada juara kelompok menang.
Waktu diadakan
Karapan Sapi digelar setiap tahun pada bulan Agustus atau September, dan akan dilombakan lagi pada final di akhir bulan September atau Oktober.
Bagi masyarakat Madura, Karapan dilaksanakan setelah sukses menuai hasil panen padi atau tembakau.
Makna Perlombaan
Karapan Sapi tidak hanya sebuah pesta rakyat atau acara tiap tahun yang diwarisi turun temurun, tapi juga sebagai simbol prestise yang dapat mengangkat harkat dan martabat masyarakat Madura.
Penulis: Adithia Risma Rara Putri, Universitas Brawijaya, Peserta Magang GenPinas 2021