Menjadi pribadi yang bertanggungjawab, aktif, dan produktif
Menolong orang lain yang membutuhkan.
Menjaga sopan santun dan tata krama.

Siapa diantara Sobat GenPI yang tidak asing dengan kata-kata tersebut? Sepertinya nilai atau falsafah seperti itu sudah tidak asing ya Sobat GenPI. Apalagi nasihat-nasihat sopan santun. Jika Sobat GenPI masih ingat, dahulu hal tersebut juga diajarkan pada pelajaran Budi Pekerti di bangku SD.

Falsafah atau pandangan hidup merupakan pedoman bagi seseorang dalam menjalani kehidupannya. Falsafah yang diyakini seseorang umumnya dipengaruhi oleh lingkungan darimana ia berasal. Salah satu contoh falsafah hidup adalah Pi’il Pesenggiri dari masyarakat Lampung.

Menara Siger, titik nol Sumatra yang terletak di Lampung (Sumber foto : geoportal.lampungprov.go.id)

Lampung yang dijuluki ‘Kota Gajah’ ini menyimpan banyak sekali tradisi dan kebudayaan. Masyarakatnya memegang teguh adat dan istiadat yang berlaku. Demikianpun pandangan hidup yang dianut kebanyakan masyarakat Lampung.

Dikenal dengan Pi’il Pesenggiri, falsafah hidup ini umum dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Lampung. Meskipun penduduknya banyak dari daerah lain, namun penduduk setempat tetap memegang pandangan hidup tersebut.

Sejarah Pi’il Pesenggiri

Kebudayaan daerah Lampung mencerminkan kemajemukan suku bangsa yang mendiaminya. Salah satu budaya yang merupakan warisan para leluhur adalah Pi’il Pesenggiri sebagai falsafah hidup. Pi’il Pesenggiri bersumber dari kitab adat yang dianut oleh masyarakat Lampung.

Masyarakat asli Lampung sendiri terdiri dari dua sub etnis, yakni sub etnis Lampung Pepadun dan sub etnis Saibatin/Pesisir/Peminggir. Kedua sub etnis ini mempercayai Pi’il Pesenggiri sebagai filsafat hidup.

Pengantin dari dua Suku Lampung (Sumber Foto : id.wikipedia.org)

Dalam model penulisannya, Pi’il Pesenggiri memiliki beberapa versi. Ada yang menggunakan kata ‘gikhi’, ‘gighi’, dan terakhir ada juga yang menggunakan kata ‘giri’. Untuk menyesuaikan dengan bahasa Indonesia, maka kini digunakan kata giri dalam penyebutan/penulisannya.

Lampung memiliki masyarakat yang multikultural. Hal ini rawan memicu konflik antaretnis yang mendiaminya. Keberagaman etnis yang ada di kota dengan maskot Taman Nasional Way Kambas ini terjadi setelah adanya transmigrasi.

Sumber : id.wikipedia.org

Dalam lambangnya, Lampung memiliki lukisan padi dan lada sebagai simbol hasil buminya. Kemudian ada laduk dan payan sebagai senjata tradisionalnya. Kemudian juga terdapat gong sebagai simbol demokrasi, siger sebagai lambang keagungan budaya, dan payung sebagai simbol tempat berlindung.

Pada lambang tersebut terdapat tulisan Sang Bumi Ruwa Jurai  yang dapat diartikan sebagai rumah tangga yang agung dan bahagia dengan dua golongan masyarakat, yakni asli dan pendatang (ruwai dan jurai).

Perbuatan atau perangai manusia yang agung dan luhur, demikianlah nilai dan makna pembentuk falsafah Pi’il Pesenggiri. Sang Bumi Ruwa Jurai melahirkan masyarakat beradat Pepadun dan masyarakat beradat Sebatin.  Keduanya meskipun berbeda namun tetap memegang teguh etos ke-Lampung-an yang tertuang dalam nilai-nilai Pi’il Pesenggiri.

Namun, transmigrasi yang terus menerus terjadi pada akhirnya cenderung menggeser masyarakat asli Lampung dari wilayahnya sendiri. Penduduk awal yang terdiri dari dua masyarakat adat kini mulai bercampur dan dihuni oleh beragam suku etnis dari berbagai wilayah di Nusantara.

Oleh karena itu untuk menjaga adat dan budaya warisan luhur akhirnya digunakan satu pedoman untuk menjaga nilai asli masyarakat Lampung. Pedoman yang tertuang dalam nilai-nilai Pi’il Pesenggiri. Falsafah ini hadir sebagai prinsip hidup dasar masyarakat Lampung dalam hidup berdampingan dengan suku bangsa lain.

Pi’il Pesenggiri bagi masyarakat lampung, baik asli maupun pendatang, berlaku sebagai cara hidup yang mengatur kehidupan sehari-hari. Kebersihan jiwa menjadi landasan dalam menjadi hidup menurut nilai-nilainya. Pi’il Pesenggiri digunakan sebagai landasan fundamental setiap aktivitas kehidupan masyarakat.

Adi-adi Ulun Lampung (Sumber : id.wikipedia.org)

Menurut kepercayaan yang ada pada masyarakat Lampung, seseorang akan dikatakan memiliki harga diri apabila sudah melaksanakan unsur-unsur yang terdapat dalam Pi’il Pesenggiri. Unsur-unsur yang membentuk Pi’il Pesenggiri adalah Bejuluk Beadek, Nemui Nyimah, Nengah Nyappur, dan Sakai Sambaian.

Pilar Pertama : Nemui Nyimah

Dikenal sebagai pilar-pilar penyokong, pilar pertama adalah Nemui Nyimah. Nemui  berarti tamu dan  Nyimah berarti santun (dari kata Simah). Seseorang akan dikatakan berhasil apabila mampu menjadi tamu ataupun tuan rumah yang baik. Eksistensi seseorang dalam masyarakat dapat diukur berdasarkan sikap santun.

Acara Pemerintah Lampung Timur dengan tema ‘Nemui Nyimah’ bertempat di Balai Desa Labuhan Ratu I pada 17 Desember 2019 Lalu
(Sumber : Metrodeadline.com)

Sikap santun yang dimaksud dalam Nemui Nyimah  dapat berbentuk perilaku dan tutur kata, atau dapat juga berbentuk benda. Perilaku produktif seseorang dapat dianggap santun dalam masyarakat secara luas. Apapun bentuk ataupun posisinya, ukuran keberhasilan pilar ini adalah  Simah  atau santun.

Pilar Kedua : Nengah Nyappur

Unsur kedua yang menopang adalah  Nengah Nyappur. Nengah dapat berarti kerja keras, terampil, atau bertanding. Sedangkan Nyappur  adalah sikap tenggang rasa. Dalam pilar kedua ini yang dituntut adalah kemampuan kompetitif seseorang.

Nengah Nyappur merupakan bentuk upaya masyarakat Lampung dalam membekali sisi intelektual dan spiritual tiap individunya. Hal ini dilakukan agar tiap orang dapat mengatur dan memanfaatkan alam dan segala kekayaannya secara optimal bagi kemakmuran bersama.

Pilar Ketiga : Sakai Sambaian

Pilar ketiga adalah Sakai Sambayan  yang bermakna bekerja sama. Sakai berasal dari kata Akai yang berarti terbuka/dapat menerima sesuatu dari luar. Sambayan  dapat diartikan sebagai memberi (dari kata Sambai atau utusan). Unsur pembentuk Pi’il Pesenggiri ketiga ini bermakna gotong-royong atau sikap rakyatnya yang kooperatif.

Sebelum sampai pada titik Pi’il Pesenggiri atau kehormatan dan nama baik pribadi atau keturunan ada pilar keempat, yakni Bejuluk Beadek. Bejuluk berasal dari kata  juluk  yang berarti nama baru seseorang saat berhasil menancapkan cita-citanya. Kemudian Adek adalah nama baru yang diberikan ketika cita-cita tersebut berhasil dicapai.

Pilar Keempat : Bejuluk Beadek

Bejuluk Beadek  menandakan sifat masyarakat yang menginginkan perubahan, pembaharuan, dan inovasi bagi masyarakatnya. Nama-nama baru seperti definisi pilar keempat ini hanya diberikan ketika terjadi sesuatu yang baru. Makna unsur keempat ini juga mencakup kemampuan seseorang dalam menjaga perilaku dan tutur kata dalam kesehariannya.

Kemudian setelah keempat unsur tersebut barulah Pi’il Pesenggiri yang selain sebagai salah satu unsur pembentuk juga dikenal juga sebagai prinsip kehormatan. Pi’il Pesenggiri ini ada sebagai sokoguru filosofi rakyat Lampung yang disokong oleh empat pilar seperti yang dibahas sebelumnya.

Etos dan semangat luhur masyarakat Lampung terangkum dalam Pi’il Pesenggiri. Keempat unsur juga sokogurunya sudah berabad-abad hidup dan berjalan ditengah masyarakat Lampung. Diyakini bahwa Pi’il Pesenggiri dapat menjauhkan perselisihan dan perpecahan yang meman rawan terjadi dalam masyarakat multikultur.

Jika dijalankan dengan konsisten dan sungguh-sungguh, diyakini Pi’il Pesenggiri akan menghantarkan seseorang pada tatanan kehidupan yang harmonis dan serasi. Sobat GenPI, ternyata falsafah masyarakat Lampung ini sangat mulia dalam tujuannya ya. Diantara Pi’il Pesenggiri dan keempat pilarnya mana yang sudah berhasil Sobat GenPI terapkan dalam keseharian, nih?. (*)

Penulis : Richmond Faithful, Universitas Terbuka, Peserta Magang GenPInas 2021

1 COMMENT

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here