https://cultura.id/the-platform-review

Bagi pecinta film-film misteri layak untuk menonton film The Platform yang tayang di Netflix. Paling tidak film ini lebih baik dari pada melihat kerumunan orang main di mal. Awal masuk latar belakang film yang begitu suram dan membosankan sedikit membuat penonton mengantuk. Bagi orang yang dari awal tidak punya jiwa penasaran memang bakal sulit menikmati hiburan seperti ini, tentang teka-teki dan makna yang tersembunyi di baliknya. Tidak sedikit yang penasaran dan mencoba untuk mencari review The Platform di internet.

Akan tetapi, bagi mahasiswa ilmu komunikasi, kamu layak berbahagia karena film inibisa jadi objek penelitian semiotika yang sangat menarik dan tersaji dengan lengkap. The Platform merupakan sebuah film fiksi sains produksi dari Spanyol yang disutradarai oleh Galder Gaztelu-Urrutia. kemudian alegori kapitalisme dan sosialisme yang begitu gampang untuk dipahami.

Seperti film Snow Piercer yang disutradari Bong Joon-Ho tentang si kaya dan si miskin, si bahagia dan si menderita. Bedanya, dalam film The Platform menerapkan aturan yang lebih realistis, tentang hidup yang berputar seperti roda. Suatu saat, kamu bakal merasa bokek dan kelaparan, suatu saat kamu akan kaya raya dan berlimpah makanan.

Awal masuknya film mulai dibuka dengan protagonis yang terbaring di sebuah tempat asing. Menggambarkan sel penjara dengan lantai bolong tengahnya tapi bukan donat. Dalam sel tahanan dihuni oleh dua orang dan setiap orang diberi kesempatan untuk membawa satu benda kesukaan. Setiap hari akan ada sebuah elevator makanan yang melewati lubang tersebut dari atas ke bawah.

Kemudian bentuk sel penjara dalam film The Platform digambarkan sebagai penjara bertingkat. Tingkat satu adalah yang paling atas. Ketika sudah masuk waktunya untuk makan, semua makanan datang ke tingkat satu dalam keadaan utuh, lalu diedarkan ke bawah. Semakin ke bawah, para tahanan bakal makin tidak kebagian makanan, kelaparan, dan bisa berujung kanibalisme.

Dari hal tersebut menunjukkan bagaimana orang-orang bertahan dalam moda kapitalisme. Mereka yang di atas tetap serakah sedangkan mereka yang di bawah akan kelaparan dan perlahan mati terbunuh oleh keadaan. Adapun solusi yang ditawarkan film ini adalah sistem sosialisme. Dengan cara mengedarkan makanan dengan adil hingga ke tingkat bawah, sehingga semua makan dan semua senang.

Akan tetapi sosialisme digambarkan sebagai sistem yang tidak seratus persen ideal. Karena seorang ‘Pemimpin’ atau pembuat aturan perlu menghukum mereka yang tidak menuruti aturan. Kemudian perjalanan mereka harus berdarah-darah dulu untuk mendobrak tatanan penjara dan menjaga sebuah ‘pesan’ atau simbol yang nantinya akan dibawa ke atas, menuju pengelola penjara.

Film dengan segala kerumitan ini harus berakhir dengan open ending. Karena pembuat film menyerahkan kesimpulannya pada imajinasi penonton. Ini merupakan tipikal ending yang bikin penasaran, sedikit mengecewakan, tapi menarik untuk ditonton. Jadi, ketika kamu kebetulan menemukan artikel berisi review The Platform kamu tidak perlu khawatir dengan spoiler.

Setelah kalian menonton film ini, sebagian dari kamu bakal memahami bahwa dunia ini memang sudah begitu sejak dulu. Memang manusia ada yang bar-bar dan ada yang misterius. Dari karakter tokoh yang digambarkan sebagai egoisme dan alturisme yang bertabrakan lalu menentukan sikap dan tindakannya kemudian. Orang yang kaya dan miskin sifatnya hanya sementara, kecuali cuannya Nia Ramadhani yang tidak ada habis-habisnya.

Namun cukup disayangkan, dengan tipe open ending, film ini terasa tidak memberikan solusi baru. Film ini seakan hanya berperan sebagai penyaji masalah. Dengan berkata, “Begini lho tatanan dunia, mau ke kanan atau ke kiri tetap ada risikonya.” Sehingga sebagai bentuk sebuah alegori, film ini tidak punya argumentasi apapun. Bahkan film ini berusaha untuk senetral mungkin di balik dalih menyerahkan ending pada benak penonton.

Film yang menggambarkan bagaimana yang egois akan kalah, tapi juga menunjukkan bagaimana kalimat persuasif tidak menghasilkan efek apa pun. Jika kalian mengamati lebih dalam ada juga sindiran soal ketuhanan muncul beberapa kali, bahkan kamu juga bisa ngeh kalau si pembuat film sedang menganalogikan orang yang pansos pakai tali tambang tapi berakhir diberakin orang-orang kelas atas. Dari film ini menggambarkan bahwa dunia ini sangat kejam, dan film The Platform menggambarkannya dengan epik.

Ditulis oleh : Aunur Rahman, Jurnalistik UIN Bandung, Program Internship Generasi Pesona Indonesia.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here